PT ASI Bantah Ekspor Nikel

SORONG  PT Anugerah Surya Indotama (PT ASI) melalui kuasa hukumnya, Max Mahare, SH menyatakan pihaknya beluma pernah mengeskpor nikel dari pulau Kawei, distrik Waigeo Barat, kabupaten Raja Ampat.

Apalagi jika dikatakan PT ASI telah mengespor nikel sampai 12 kali, menurut Max Mahare, hal itu sangat tidak benar. Kepada Koran ini di kediamannya Rabu Sore (5/3), Max Mahare mengatakan hal ini menanggapi pernyataan anggota DPRD Raja Ampat Mathius Mambraku yang menyebutkan PT ASI telah mengeskpor nikel sebanyak 12 kali dari kabupaten Raja Ampat.

“PT ASI tidak pernah melakukan kegiatan tambang di pulau Kawei, PT ASI memang benar sudah mendapat ijin dari Bupati Raja Ampat namun pada saat baru mau masuk melakukan kegiatan, sudah didahului PT KSM (PT Kawei Sejahtera Mining) dibawah pimpinan Daan Daat yang sudah masuk duluan. Lokasi tambang nikel di pulau Kawei itulah yang bermasalah antara PT ASI dengan PT KSM,” terang Max Mahare.

Mengenai 12 kali ekspor yang disebut-sebut anggota DPRD Kabupaten Raja Ampat tersebut, Max Mahare mengatakan yang sudah melakukan ekspor itu adalah PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP) yang adalah perusahaan yang pertamakali masuk di kabupaten Raja Ampat sejak pemekaran. Padahal dulunya tidak ada perusahaan tambang/investor yang mau masuk ke Raja Ampat.

Namun atas inisiatif Bupati Raja Ampat Drs Marcus Wanma, MSI yang berusaha keras mencari investor di Jakarta, menghubungi pihak-pihak yang mau menanamkan modalnya di Raja Ampat, dan hasilnya diantaranya PT Anugerah Surya Pratama tahun 2003 menanamkan investornya dan melakukan kegiatan penambangan di pulau Manurang distrik Waigeo Utara Kabupaten Raja Ampat.

“Jadi antara pulau Kawei yang berada di Waigeo Barat dengan pulau Manurang di Waigeo Utara itu berbeda posisi. Soal PT ASP berapa kali ekspor, kita harus akui secara logika hukum maupun secara akal sehat, mengapa, karena dia yang pertamakali sejak tahun 2003, jadi wajar dong kalau dia sudah ekspor,” ujar Max Mahare.

Menyangkut berapa besar dana yang masuk ke kas Pemda Raja Ampat melalui royalty ekspor, Max Mahare menegaskan kecil atau besarnya royalty yang diterima Pemda Raja Ampat berdasarkan bagi hasil setelah dibayar ke pemerintah pusat. Namun semua itu sudah ada ketentuannya.

Tentang pembagian royalty dari usaha tambang di Raja Ampat, dikatakan hal ini merupakan tugas DPRD untuk menerobos hingga ke pusat sehingga daerah pun mendapatkan porsi yang lebih besar. “Itu fungsi DPRD untuk memperjuangkan dipusat. Ingat, ketentuan royalty itu sudah dari (pemerintah) pusat, dalam hal ini kalau perusahaan membayar royalty kemudian ada bagi hasil yang masuk ke Pemda kecil, jangan salahkan Pemda, jangan salahkan perusahaan, salahkan mereka yang mengambil keputusan dipusat, rubahlah itu,” imbuhnya.

Kembali ke soal perusahaan yang telah mengekspor hasil tambang nikel dari kabupaten Raja Ampat, dikatakan sekali lagi bahwa PT ASI bukanlah PT ASP. “PT ASP direkturnya Yos Hendri,sementara PT ASI direkturnya Husein Hufni,” sebut Max.

TIDAK ADA KOORDINASI
Sementara itu, Bupati melalui Sekda Kabupaten Raja Ampat Abner Kaisepo, S.Sos mengakui adanya tumpang tindih dalam perijinan tambang nikel di pulau Kawei, distrik Waigeo Barat.

Dalam ijin kawasan pertambangan diberikan Pemprov Papua Barat kepada PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), sementara ijin kuasa pertambangan yang diberikan Pemkab Raja Ampat (R4) kepada PT Anugerah Surya Indotama (ASI).

Meski terjadi tumpang tindih dalam perijinannya, menurut Abner Kaisepo, masalah tidak akan menjadi runyam kalau saja PT KSM yang mengantongi ijin gubernur berkoordinasi dengan Pemkab Raja Ampat.

“Jangan karena sudah dapat ijin dari provinsi, terus seenak dan sewenang- wenangnya saja. Setidaknya harus tahu dan melakukan koordinasi dengan kita di daerah artinya minta permisi dengan tuan rumah. Yang jadi permasalahan utama adalah tidak ada koordinasi yang baik dari perusahaan yang mendapat ijin pengeloaan tambang di pulau Kawei, ”ujar Abner Kaisepo kepada Koran ini via telepon selular Sorong-Waisai kemarin (5/3).

Menyinggung kalau sebelumnya PT KSM yang mendapat ijin dari provinsi juga pernah datang melapor dan berkoordinasi dengan Pemkab R4, Sekda pun mempertanyakan itu kapan dilakukan.

“PT KSM kapan datang melapor dan juga bertemu dengan siapa. Kalaupun datang melapor tidak diterima atau diijinkan, kenapa harus melakukan kerja atau operasi, harus ikut ketentuan yang berlaku,” ujarnya.

Selain pihak perusahaan yang akan beroperasi di Raja Ampat, Pemrov Papua Barat pun kata Sekda semestinya juga menghargai kewenangan Pemda setempat. Paling tidak ada koordinasi, sehingga kegiatan usaha pertambangan dapat berjalan lancar.

“Yah saya akui kita ini hanya bawahan dan hanya mendapat perintah, tapi bupati selaku kepala daerah juga punya hak. Kenapa saya harus katakan begitu, karena dia yang punya daerah dan bertanggung jawab penuh terhadap situasi dan kondisi daerahnya. Apapun keputusan yang diambilnya tentu sudah melalui pertimbangan yang masak,” tandasnya.

Soal gugat menggguat atas perijinan kuasa tambang yang diberikan, menurut Sekda sebaiknya dikembalikan kepada prosedur dan aturan hukum yang berlaku. (ian/boy)

Source: Radar Sorong

One Response

  1. sangat disayangkan bila pendapatan hasil penjualan tambang tersebut tidak terkelola dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat Raja Ampat. Ada baiknya diatur alokasi pendapatan dari ekspor nikel tersebut untuk konservasi laut Raja Ampat (sampah, sedimen, dll dari pertambangan tsb akan berakhir di laut), untuk peremajaan lahan yang telah ditambang, untuk pembangunan infrastruktur, untuk pemkab, dan juga untuk perusahaan tambang tersebut secara adil. Tiba saatnya untuk membuktikan bahwa tidak selamanya pertambangan membawa mudharat di wilayah tambang tsb tetapi menguntungkan semua pihak terkait!

Leave a comment